Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran sejak 1989,... selengkapnya
faktax.com - Sejak terbentuk tahun 1979, Republik Islam Iran mengklaim sebagai rezim keadilan. Namun, sejarahnya juga dipenuhi pelanggaran HAM sistematis—terutama eksekusi massal 1988 dan represi terhadap aktivis. Di tengah konflik Iran–Israel Juni 2025, isu-isu ini semakin relevan dan perlu diungkap.
Berikut fakta-fakta yang perlu diketahui tentang rezim Republik Islam Iran yang selama ini tidak sampai ketelinga warga dunia termasuk Indonesia.
Dari Juli–Desember 1988, Khomeini mengeluarkan fatwa eksekusi ribuan tahanan politik tanpa pengadilan formal . Estimasi korban: 2.800–30.000 orang, menurut HRW, Amnesty International, dan PBB.
Pelaksanaan dilakukan secara diam-diam di 32 kota, dengan korban dikubur di kuburan massal tanpa penyampaian penjelasan resmi kepada keluarga.
Setelah Revolusi Hijau (Green Movement) tahun 2009, banyak aktivis, jurnalis, dan mahasiswa dipenjara tanpa proses yang adil, dan beberapa dilaporkan dieksekusi atau dibunuh secara misterius.
Kelompok minoritas seperti Baha’i, Kurdi, dan Baluchi mengalami penahanan administratif, penghilangan paksa, serta kekerasan, sering tanpa proses hukum yang jelas.
Iran menampilkan dirinya sebagai pemimpin moral dunia Muslim melawan “Zionisme” dan imperialisme, meski menindas rakyatnya sendiri.
Media negara seperti IRIB gencar menyebarkan narasi dukungan terhadap rezim dan membangun citra jihad, sementara laporan pelanggaran hak asasi manusia kerap dibungkam atau disangkal. Baru-baru ini, pusat siaran IRIB menjadi target serangan Israel—sebuah indikasi betapa vitalnya peran kontrol propaganda dalam dinamika konflik ini.
IRGC dan Quds Force telah mendukung milisi di Yaman, Lebanon, Suriah dan Irak. Fokus eksternal ini menjadikan pembicaraan domestik tentang pelanggaran HAM lebih terdorong ke pinggir.
Sejak 13 Juni 2025, Israel dan Amerika Serikat melancarkan serangkaian serangan udara terhadap fasilitas nuklir utama Iran seperti Fordow, Natanz, dan Penjara Evin, yang juga merupakan simbol penindasan politik di masa lalu. Sebagai balasan, Iran meluncurkan rudal dan drone ke kota-kota Israel seperti Tel Aviv dan Haifa, menyebabkan korban jiwa dan kerusakan terbatas.
Kehancuran Penjara Evin dalam konflik ini menyoroti kembali sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Iran, yang kini mencuat ke permukaan dan bersaing di pemberitaan global serta menjadi topik hangat dalam pencarian daring bertema “Iran Israel war”.
Negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab kini mendorong deeskalasi konflik, karena khawatir perang berkepanjangan antara Iran dan Israel akan mengancam stabilitas serta merugikan ekonomi regional. Sementara itu, di dalam Iran sendiri, pemerintah terus membatasi arus informasi melalui pemblokiran internet dan sensor media, memicu kecaman dari media Barat dan organisasi HAM. Lembaga seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menyerukan penyelidikan internasional terhadap eksekusi massal tahun 1988 dan serangan terhadap fasilitas penjara, menuntut akuntabilitas global atas pelanggaran hak asasi yang terus berlanjut.
Fakta-fakta seperti eksekusi massal tahun 1988, represi sistematis, dan propaganda rezim Iran menunjukkan ketidakkonsistenan mencolok antara klaim revolusioner dengan realitas brutal yang dijalankan. Konflik Iran–Israel pada Juni 2025 kembali menyeret catatan kelam ini ke permukaan, menegaskan bahwa sejarah pelanggaran hak asasi manusia memiliki dampak geopolitik yang nyata. Dalam konteks ini, dunia Islam dan komunitas internasional perlu bersikap kritis, membedakan dengan jelas antara retorika anti-Zionisme yang digaungkan Iran dan pelanggaran serius terhadap hak-hak rakyatnya sendiri.
© 2025 FaktaX. All Rights Reserved.